Menjadi Jepang hari ini (Metamorphosis of Japan, from myth to reality)

Perjalanan menelusuri teks demi teks, warung kopi dan ruang diskusi, guna memahami sejarah dan budaya Jepang membawa saya dalam penyusunan puzzle yang sedikit demi sedikit menjadi lebih nampak dari sebelumnya.

Sejak awal tahun 2000-an, ketika bertebarannya penulisan file digital ilmiah maupun non ilmiah mudah kita temui melalui ruang maya tak berpagar. Boleh jadi hari ini terdapat ratusan atau mungkin ribuan catatan tentang Jepang bernada “positif” yang semuanya dikaitkan dengan “Budaya Jepang” tetapi betulkah Jepang sejak awal memang seperti itu?

Benarkah masyarakat Jepang memiliki budaya rajin, hidup bersih, rajin bekerja dan lain-lain? Boleh jadi hari ini memang kita menemukan jawaban realitas masyarakat Jepang yang senanda dengan catatan ruang maya, tetapi pernahkah kita mempertanyakan itu? dari mana datangnya? Bagaimana awalnya? Ataukah kita hanya cukup dengan meng “aamiin” kan saja tanpa menelusuri jejak-jejak realitas dan menyusun kembali puzzle-puzzle yang tercecer? melalui tulisan dari ibu susy ini akan mengantarkan kita menemukan jawaban dari perubahan jepang yang semata-mata bukan karena budaya jepang yang unggul tetapi keinginan pemerintah yang ingin melakukan perubahan secara menyeluruh.

Dalam diskusi ini saya sedang tidak berupaya untuk membangun sebuah realitas baru tentang konsepsi masyarakat Jepang maupun menuju hyperreality (kenyataan fantasi), tetapi hanya berupaya menyusun kembali puzzle-puzzle yang tak utuh tentang kajian masyarakat Jepang yang jarang tersentuh oleh sarjana Jepang di Indonesia.

Dengan adanya diskusi ini diharapkan kepada teman-teman klub sejarah Saijo maupun rekan-rekan PPI Hiroshima tidak hanya akan menjadi penikmat kemapanan Jepang sahaja tetapi juga mampu menjawab false consciousness yang terbangun melalui jawaban ilmiah.

Agustus 2017, kita akan memperingati proklamasi kemerdekaan RI yang ke-72. Kita semua tentu mengetahui bahwa faktor utama yang memungkinkan proklamasi kemerdekaan RI 72 tahun yang lalu (17 Agustus 1945), adalah kekalahan Jepang yang kedua terhadap Amerika Serikat. Pertama, melalui perjanjian tidak adil 1853 dan memaksa jepang membuka diri dari politik isolasi oleh shogun tokugawa dan  akhirnya berakhir pada tahun 1868. Kedua melalui kekalahan terhadap sekutu pada Perang Dunia kedua, 15 Agustus 1945.

Kekalahan Perang Dunia ke-2 menyebabkan tatanan sosial ekonomi dan politik jepang kacau. Jaringan produksi dan distribusi hampir lumpuh, sehingga hampir seluruh rakyat Jepang hidup dalam kemiskinan dan tanpa masa depan yang jelas. Ini menyebabkan mereka putus harapan, sehingga cenderung apatis, malas, egois, tidak disiplin dan boros (hanya memikirkan kesenangan sesaat). Kriminalitas (perampokan, pelacuran, penyalahgunaan obat, penipuan, sabotase) meningkat drastis. Sanitasi dan gizi yang sangat buruk menyebabkan kondisi kesehatan rakyat Jepang sangat buruk, sehingga produktivitas rakyat Jepang juga rendah.

Menyadari akan hal tersebut pemerintah Jepang bersama rakyat berupaya mengatasi kondisi tersebut dan ‘seakan-akan mengalami metaformosis’ menjadi negara dengan tingkat kemakmuran tinggi, rakyat yang rajin, disiplin dan sehat sejahtera, masyarakat yang harmonis. Langkah tersebut dilakukan dengan cara-cara yg tercantum dibawah ini:

  1. Revisi UU Pendidikan

Segera setelah tersiar berita kekalahan dalam perang, para pemimpin masyarakat Jepang (termasuk kaum intelektual) langsung menyimpulkan bahwa kalah perang disebabkan oleh buruknya kualitas SDM Jepang; sistem pendidikan sekolah selama ini terlalu menekankan formalitas dan keseragaman. Akibatnya, rakyat Jepang kurang kreatif, kurang kritis, kurang inisiatif dan kurang kemauan untuk hidup lebih sehat sejahtera. Selain itu, pendidikan di Jepang juga dianggap kurang berhasil dalam menanamkan pola berpikir yang ilmiah, sehingga rakyat Jepang masih cenderung percaya pada takhayul. Dengan kata lain, pendidikan selama ini dianggap belum dapat mencerdaskan rakyat, sehingga rakyat tetap bodoh dan minim rasa tanggung jawab sosial (=cenderung cari aman), dan karena itulah, Jepang kalah perang.

Satu bulan setelah kalah perang, tepatnya pada tanggal 15 September 1945, pemerintah Jepang mengumumkan ‘Educational Policy for the Construction of a New Japan’ (Kebijakan Pendidikan untuk Rekonstruksi Nasional). Dalam Kebijakan tersebut dicanangkan bahwa tujuan pendidikan adalah ‘mendidik generasi muda agar mampu berpikir secara ilmiah dan rasional; bahwa perlu diselenggarakan program pelatihan kepada para guru agar dapat mengemban misi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan; anjuran kepada rakyat agar bekerja keras demi membangun kembali Jepang pasca perang’.

Selanjutnya, pemerintah dan para pakar pendidikan melakukan pembahasan untuk merevisi UU Pendidikan. Setelah berdiskusi dan konsultasi dengan tim ahli pendidikan dari Amerika Serikat, pada tahun 1947 disahkan Undang-undang Pendidikan (Fundamental Law of Education). Dalam UU tersebut dicantumkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah membina warga negara yang mampu berpikir rasional (tidak percaya pada takhayul, tidak bertindak dengan modal nekad), rajin bekerja,  memiliki rasa tanggung jawab sosial, serta berjiwa mandiri (tidak tergantung pada orang lain ataupun pada pemerintah), menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, dan mampu menghasilkan kebudayaan baru. Di samping itu, juga dicantumkan kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mensponsori fasilitas untuk pendidikan luar sekolah, seperti perpustakaan, museum, balai kota / balai desa.

Selanjutnya, pelaksanaan pendidikan luar sekolah dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang Pendidikan Luar Sekolah, yang disahkan pada tahun 1949. UU Pendidikan Luar Sekolah tersebut mencakup pendidikan untuk anak-anak usia pra-sekolah dan untuk orang dewasa. Balai desa/balai kota pada setiap pemda merupakan instansi penyelenggara pendidikan luar sekolah. Tujuan dari pelaksanaan pendidikan luar sekolah adalah membantu warga untuk terus menerus menambah pengetahuan dan wawasan, dan menyediakan sarana rekreasi (olah raga dan kesenian) kepada kaum remaja, agar terhindar dari hiburan yang tidak sehat (pornografi) dan kriminalitas. Di samping itu, juga untuk membangun solidaritas antar warga.

Untuk menunjang pendidikan luar sekolah, pada tahun 1950 disahkan Undangundang Perpustakaan, dan pada tahun 1951 disahkan Undangundang Museum. Berdasarkan kedua UU tersebut, setiap pemda wajib mendirikan dan mengelola sarana perpustakaan dan museum sebagai bentuk layanan publik, dengan tujuan menambah pengetahuan dan memperluas wawasan pada warga setempat, sehingga dapat bekerja dengan lebih efisien dan hidup lebih sejahtera.

  1. Himbauan untuk rajin bekerja, hidup hemat dan rasional

Sekitar 3 minggu setelah pengumuman kekalahan perang, tepatnya pada tanggal 11 September 1945, pemerintah Jepang mengumumkan keputusan kabinet terkait program gerakan nasional untuk menabung. Dalam keputusan kabinet tersebut disebutkan bahwa pasca kekalahan perang, Jepang harus melakukan rekonstruksi nasional, dan dana untuk rekonstruksi hanya dapat diharapkan dari rakyat.

Pasca kekalahan perang, jaringan produksi dan distribusi kacau, sehingga terjadi hiper inflasi. Rakyat berbondong-bondong memborong dan menimbun barang-barang kebutuhan pokok, sehingga semakin memicu laju inflasi. Untuk menekan laju inflasi, pemerintah menghimbau kepada rakyat agar rajin bekerja dan hidup hemat, meingkatkan pendapatan dan mengurangi belanja, sehingga dapat menyisihkan sebagian dari pendapatan untuk dimasukkan ke lembaga keuangan sebagai tabungan. Dengan berkurangnya belanja, maka permintaan barang di pasar akan menurun, dan harga akan turun. Selain itu, dana yang terhimpun oleh bank dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk belanja dan pembiayaan publik, sehingga pemerintah tidak perlu terus menerus mencetak uang kertas. Dengan demikian, uang yang beredar akan berkurang sehingga dengan sendirinya inflasi akan  mereda.

Skema untuk menekan inflasi tersebut dicetuskan oleh gubernur Bank Sentral Jepang waktu itu, Ichimada Hisato. Ichimada pernah bertugas di Berlin, Jerman, pada tahun 1923-1926. Ketika itu, Jerman mengalami hiperinflasi pasca kekalahan dalam Perang Dunia Pertama; adalah gubernur bank sentral Jerman waktu itu, Hjalmar Schacht, yang menerapkan kebijakan himbauan menabung, dan berhasil menjinakkan hiperinflasi. Ichimada kemudian menerapkan skema Schacht tersebut di Jepang, juga untuk mengatasi kondisi hiperinflasi pasca kekalahan perang.

Bersamaan dengan himbauan menabung tersebut, pemerintah juga menginstruksikan kepada institusi keuangan (kantor pusat dan kantor cabang semua bank) di seluruh pelosok negeri, agar memberi kemudahan kepada nasabah yang hendak menabung. Pemerintah (kementerian keuangan) memberikan bantuan kepada lembaga keuangan dalam kampanye menarik nasabah, yaitu membagikan sepeda, alas kaki dan tiket kereta api kepada pegawai bank yang berkeliling untuk mendapatkan nasabah, dan memberikan penghargaan serta insentif kepada cabang bank atau pegawai bank yang telah berhasil mendapatkan nasabah dan jumlah tabungan yang signifikan.

Agar rakyat antusias untuk menyimpan uang di bank, kementerian keuangan Jepang mengeluarkan sejumlah kebijakan pendukung, seperti membuat pernyataan resmi bahwa pihak yang berwajib tidak akan meminta informasi nasabah pada pihak bank, kecuali terdapat dugaan kuat bahwa nasabah tersebut melakukan tindakan kriminal pengelakan pajak dan sebagainya; suku bunga untuk deposito berjangka dinaikkan.

Selain itu, pihak bank juga melakukan berbagai upaya guna menarik nasabah, seperti mengadakan undian berhadiah, yang mana hadiah-hadiah yang diberikan adalah produk-produk yang sulit diperoleh di pasar bebas (seperti mesin jahit, kain dan sebagainya); juga terdapat hadiah berupa insentif penambahan jumlah saldo (hadiah berupa sejumlah uang yang lanngsung ditambahkan pada saldo nasabah tersebut).

Tabungan perorangan berasal dari surplus keuangan rumah tangga, sedangkan ada tidaknya (atau banyak sedikitnya) surplus keuangan rumah tangga tergantung pada usaha ibu rumah tangga. Oleh karena itu, pemerintah mengerahkan organisasi wanita di tiap daerah untuk membagikan buku catatan pemasukan dan belanja rumah tangga kepada ibuibu di daerah tersebut, dan mengajarkan cara mencatat setiap pengeluaran, serta cara mengelola keuangan rumah tangga dengan cermat. Dengan demikian, diharapkan setiap keluarga setiap bulan dapat menyisihkan sejumlah uang untuk dimasukkan ke dalam tabungan (bank).

Untuk mensukseskan kampanye nasional menabung, sejak Desember 1946, kementerian keuangan Jepang mengerahkan artis dan pelawak serta pelukis karikatur (manga-ka) untuk mensosialisasikan manfaat menabung demi kepentingan nasional sekaligus demi meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Sejak tahun 1949, perekonomian Jepang mulai beralih dari tahap pemulihan ke tahap pertumbuhan. Untuk itu, kementerian keuangan Jepang kembali menghimbau rakyat agar giat menabung, menghimpun modal agar perusahaan dapat melakukan investasi dan meningkatkan produksi, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat dipacu. Dan dengan pertumbuhan ekonomi, maka Jepang akan berpeluang untuk menjadi mandiri secara ekonomi.

Pada bulan September 1951, Jepang menandatangani Perjanjian San Francisco, dan dengan demikian, Jepang kembali menjadi negara merdeka (sejak kalah perang pada tahun 1945 s/d 1952, Jepang diduduki oleh tentara Amerika). Momentum ‘kemerdekaan politik’ ini dimanfaatkan oleh pemerintah Jepang untuk mendorong rakyat agar semakin rajin bekerja dan hidup hemat, agar dapat menabung dan membantu pemerintah secepatnya mencapai ‘kemerdekaan (mandiri secara) ekonomi’.

Pada tanggal 15 April 1952, di Tokyo didirikan Komite Nasional Peningkatan Tabungan Nasional. Anggotanya terdiri dari mantan pejabat (seperti mantan menteri keuangan), akademisi serta anggota parlemen.

Komite ini memberikan himbauan konkrit kepada masyarakat agar dapat menabung, yaitu:

  1. Setiap individu dan keluarga harus berusaha untuk hidup hemat
  2. Perusahaan harus berusaha meningkatkan efisiensi (sehingga dapat meningkatkan laba)

Slogan yang disosialisasikan adalah: ‘menabung adalah pondasi bagi negara merdeka’ ‘marilah kita menabung 10 Yen setiap hari setiap warga negara’ ‘marilah ibu-ibu mencatat semua pengeluaran’. Dengan membuat catatan pengeluaran, ibu-ibu rumah tangga dapat membuat rencana pengeluaran, sehingga kondisi ekonomi rumah tangga menjadi lebih terjamin.

Pada tahun 1952, kementerian keuangan juga menetapkan tanggal 17 Oktober sebagai ‘hari menabung’; dan agar rakyat semakin tertarik untuk menabung, pajak yang dikenakan pada bunga tabungan diturunkan. Memasuki akhir 1950an, pemulihan ekonomi sudah berhasil dan ekonomi Jepang mulai beralih ke tahap pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan ekspor. Kembali pemerintah menghimbau rakyat agar hidup hemat dan menabung agar perusahaan mendapatkan suntikan modal guna meningkatkan produktivitas dan daya saing di pasar internasional. Media cetak maupun media elektronik dimanfaatkan untuk sosialisasi pola hidup hemat dan manfaat menabung bagi kepentingan pribadi sekaligus bagi kepentingan nasional. Para pejabat, tokoh masyarakat dan akademisi tampil memberi ulasan kepada masyarakat luas tentang manfaat dan pentingnya menabung.

  1. Ubah pola hidup: sandang, pangan, papan, kehidupan sosial

Kampanye nasional menabung menunjukkan, pemerintah Jepang menyadari sepenuhnya bahwa berhasil tidaknya rekonstruksi ekonomi nasional, tergantung pada usaha setiap individu warga negara. Menabung hanya dapat terwujud jika setiap warga negara dapat menyisihkan sebagian dari penghasilan, dan sekaligus menyadari pentingnya menabung bagi kesejahteraan hidup mereka sendiri. Tujuan kedua dapat dicapai dengan upaya kampanye nasional melalui berbagai media; sedangkan tujuan pertama dapat dicapai jika setiap warga negara dapat bekerja dengan lebih efisien sehingga penghasilan meningkat, sekaligus dapat hidup dengan hemat sehingga pengeluaran berkurang. Dan agar dapat hidup hemat, mereka perlu diarahkan, diberi masukan-masukan konkrit, apa saja yang harus dan dapat dilakukan. Masukan-masukan konkrit tersebut meliputi segi sandang, pangan, papan dan kehidupan sosial.

1.Sandang

Melanjutkan kampanye nasional yang telah dilakukan sebelum perang dan selama masa perang, pasca perang dunia kedua, pemerintah bekerja sama dengan tokoh masyarakat dan pelaku usaha fashion dan dunia pendidikan (kursus menjahit), kembali mempopulerkan pakaian yang praktis dan patut. Praktis dipakai untuk berbagai aktivitas (di tempat kerja maupun ketika mengerjakan pekerjaan rumah tangga) dan terlihat patut sehingga tidak perlu berkecil hati (minder) ketika tampil di depan umum.  Tokoh masyarakat (termasuk desainer terkemuka) mensosialisasikan cara menjahit pakaian, terutama melalui media majalah. Pakaian yang dianggap praktis dan patut adalah pakaian ala Barat, bukan pakaian tradisional Jepang (yang kita sebut ‘kimono’.

2.Pangan

Pasca kekalahan perang, Jepang menderita kekurangan pangan, karena sawah dan ladang banyak yang terbengkalai akibat para petani dikerahkan ke medan perang. Gizi buruk menyebabkan daya tahan tubuh rakyat Jepang pada umumnya sangat rendah, sehingga rentan terhadap berbagai penyakit. Akibatnya, biaya pengobatan membengkak, produktivitas tenaga kerja sangat rendah. Ini merupakan kerugian nasional.

Satu tahun setelah kalah perang, kementerian kesehatan Jepang membentuk Divisi urusan Gizi pada Direktorat urusan Kesehatan Masyarakat, dan mulai bekerja sama dengan para ahli gizi mensosialisasikan cara-cara perbaikan gizi. Pada tahun 1948, disahkan UU Puskesmas, yang mengatur bahwa di setiap puskesmas di seluruh pelosok negeri harus ditempatkan ahli gizi. Mereka bertugas memberi penyuluhan untuk perbaikan gizi dan cara membuat masakan yang lezat dan bergizi namun dengan metode yang praktis (hemat waktu, hemat tenaga). Para ibu rumah tangga juga diajarkan cara memilih bahan makanan yang berkualitas dan cara belanja bersama (dalam kelompok RT, misalnya), supaya dapat membeli bahan makanan dengan harga yang lebih murah.

Sejak tahun 1949, kementerian kesehatan bekerja sama dengan kementerian pertanian, kementerian pendidikan dan kementerian ketenagakerjaan serta pemprov seluruh Jepang dan asosiasi ahli gizi nasional, menyelenggarakan pekan kampanye nasional perbaikan gizi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan mencakup pemutaran film dan slide, kuliah umum di balai desa atau balai kota, pembagian pamflet, yang semuanya bertujuan mensosialisasikan pengetahuan mengenai pentingnya peningkatan gizi dalam kehidupan sehari-hari setiap keluarga.

Pada tahun 1952, disahkan Undang-undang Perbaikan Gizi, yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang baik dan meningkatkan kondisi fisik masyarakat sehingga kesejahteraan hidup masyarakat dapat ditingkatkan. Berdasarkan Undang-undang tersebut, dibentuk Lembaga Riset Masalah Gizi dan Kesehatan Nasional yang bernaung di bawah kementerian kesehatan, dan semua kepala daerah tingkat I (gubernur) diberi tanggung jawab untuk mengadakan survei mengenai kondisi gizi dari penduduk di daerah tingkat I tersebut.

Pada tahun 1955, kementerian kesehatan membentuk Asosiasi untuk Meningkatkan Kualitas Konsumsi Pangan Jepang. Dengan dana anggaran dan struktur organisasi yang dibentuk, organisasi ini mengelola mobil penyuluhan (kitchen car), berkeliling dari rumah ke rumah dan dari instansi kerja ke instansi kerja, untuk mensosialisasikan pengetahuan mengenai asupan gizi yang tepat, agar kondisi kesehatan dan stamina semakin membaik.

3.Papan

Pasca kekalahan perang, Jepang mengalami kekurangan sarana tempat tinggal, terutama di kota-kota besar; karena banyak kota yang dijatuhi bom oleh militer Amerika, sehingga rumah-rumah penduduk terbakar. Banyak penduduk mendirikan tempat tinggal sementara, dengan kondisi sanitasi dan ventilasi yang sangat buruk. Demikian pula di daerah pedesaan, di mana warga tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai desain rumah dengan ventilasi dan sanitasi yang baik.

Setelah kondisi ekonomi mulai membaik, kebutuhan sandang dan pangan nasional sudah terpenuhi, pemerintah dan tokoh masyarakat memulai kampanye penyuluhan desain rumah yang higienis. Fokus perbaikan adalah dapur dan toilet. Ventilasi dapur dan kebersihan toilet diperbaiki, sehingga kondisi kesehatan penghuni membaik.

4.Kehidupan sosial

Perbaikan kehidupan sosial meliputi upaya mengikis pola berpikir ‘gengsi dan basa basi’ dan kepercayaan pada takhayul; anjuran untuk tepat waktu (tidak ngaret) pada acara pertemuan warga, hidup hemat, dan bersedia berdialog dengan warga lain maupun anggota keluarga sendiri berdasarkan prinsip kesetaraan.

Gengsi dan basa basi merupakan tradisi pada masyarakat mana pun, termasuk masyarakat tradisional Jepang. Gengsi dengan tetangga atau sanak keluarga sehingga belanja barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan; menjadikan pesta pernikahan dan upacara pemakaman sebagai ajang pamer, padahal kondisi keuangan keluarga tidak begitu baik (jiwa BPJS = budget pas-pasan, jiwa sosialista); saling memberi hadiah / bingkisan pada hari raya tertentu padahal bingkisan tersebut tidak dibutuhkan oleh si penerima; percaya bahwa tahun tertentu atau hari tertentu adalah tahun / hari beruntung atau tahun / hari sial; malu untuk hidup hemat / sederhana karena takut disangka orang miskin. Ini semua adalah kebiasaan-kebiasaan yang bersumber dari pola pikir tradisional, yang oleh pemerintah dan tokoh masyarakat dianggap sebagai pola pikir yang tidak rasional, sehingga menghambat kemajuan Jepang. Dan oleh karena itu, pemerintah bekerja dengan tokoh masyarakat berusaha mengajak masyarakat untuk sedikit demi sedikit mengikis pola pikir tersebut.

Pada tahun 1955, dibentuk Asosiasi Kampanye Hidup Baru. Lembaga ini dibentuk berdasarkan inisiatif para pejabat kementerian pendidikan dan mantan pejabat kementerian dalam negeri (kementerian dalam negeri Jepang dibubarkan oleh penguasa pendudukan Amerika pada tahun 1947) serta sejumlah tokoh akademisi dan tokoh dunia usaha, dan berada di bawah koordinasi Perdana Menteri. Lembaga ini mendirikan perwakilan di setiap kantor pemprov di seluruh Jepang, dan memulai kampanye ‘hidup baru’ (modernisasi pola hidup).

Para penyuluh diterjunkan ke dalam masyarakat untuk mensosialisasikan ‘pola hidup yang modern dan rasional’, seperti saling menghargai sesama anggota masyarakat dan sesama anggota keluarga, guna menciptakan kehidupan keluarga dan masyarakat yang harmonis; hadir tepat waktu pada acara pertemuan, topik pembicaraan tidak menyimpang supaya acara pertemuan dapat berakhir tepat waktu; acara makan-makan pada akhir tahun dan acara pesta tahun baru, yang merupakan tradisi yang menyebabkan pemborosan, dianjurkan agar ditiadakan; upacara pernikahan dilaksanakan secara sederhana, dengan anggaran yang dibatasi, rekan-rekan anggota ormas pemuda (karang taruna) dan ormas wanita (darma wanita) membantu secara suka rela (tanpa dibayar), resepsi disenggarakan di balai desa/balai kota sehingga gratis, makanan yang disuguhkan dibuat sederhana; tamu undangan dianjurkan agar membatasi jumlah uang (tanda ucapan selamat) yang diberikan. Demikian pula pada upacara kematian, dianjurkan agar hidangan yang disajikan kepada sanak keluarga yang datang melayat, dibuat menjadi lebih sederhana; dihimbau agar nilai nominal uang duka dikurangi, dan souvenir tanda terima kasih kepada pelayat, ditiadakan.

Kampanye ‘modernisasi pola hidup’ ini kurang berhasil, karena tradisi yang mengakar pada masyarakat, termasuk masyarakat pedesaan, sangat kuat. Namun, para petugas penyuluhan tetap gigih melakukan sosialisasi dan persuasi, dengan menekankan bahwa ‘mendobrak tradisi yang menghambat kemajuan, berarti meningkatkan kesejahteraan hidup kita sendiri’. Kemudian, seiring dengan perkembangan sektor industri dan sektor jasa, semakin banyak penduduk desa yang pindah dan menetap di kota (urbanisasi), mengenyam pendidikan tinggi serta bekerja di sektor formal, yang mana efisiensi semakin ditekankan. Sedikit demi sedikit, mentalitas ‘gengsi dan basa basi’ pada masyarakat mulai terkikis.

Kampanye ‘menjadi warga negara yang beradab’

Sejak tahun 1956, pemerintah dan tokoh masyarakat memulai kampanye nasional ‘meningkatkan moral publik’, yaitu kampanye untuk mengajak rakyat agar bertingkah laku ‘sesuai dengan standar masyarakat yang beradab’. Himbauan-himbauan yang disampaikan kepada publik antara lain:

  1. Tepat waktu (jangan ngaret); waktu itu ada istilah ‘waktu Jepang’, yang berarti ‘selalu terlambat’
  2. Mengantri (terutama ketika menunggu kendaraan umum)
  3. Buang sampah pada tempatnya
  4. Menanam pohon dan bunga, untuk menciptakan lingkungan yang indah dan asri

Perusahaan-perusahaan produsen arloji dan jam dinding menjadi sponsor dalam kampanye tepat waktu. Kantor-kantor instansi pemerintah pada jam-jam tertentu membunyikan lonceng tanda waktu, supaya warga sekitarnya dapat mencocokkan dengan arloji masing-masing.

Untuk kampanye mengantri, para relawan mendatangi stasiun kereta api, terutama pada saat-saat ada arus mudik dan arus balik mudi, menegur dan mengingatkan penumpang yang menyerobot. Jika ada yang buang sampah sembarangan, para relawan menghampiri dan memberi teguran halus. Untuk program menanam pohon dan bunga, warga masing-masing daerah dihimbau untuk bersama-sama kerja bakti.

Kampanye-kampanye ini semakin dilakukan dengan gencar ketika menjelang penyelenggaraan Olimpiade Tokyo pada tahun 1964. Karena ketika penyelenggaraan Olimpiade, pekerja media dari seluruh dunia akan datang ke Tokyo (dan kota-kota lain di Jepang). Oleh karena itu, kota-kota Jepang yang bersih dan indah serta masyarakat Jepang yang sopan dan tertib, akan menaikkan citra Jepang di mata dunia. Inilah argumen yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat ketika melakukan himbauan. Himbauan tersebut berhasil. setelah Olimpiade Tokyo, kota-kota di Jepang menjadi bersih dan indah, masyarakat Jepang menjadi tertib, tepat waktu dan sopan.

Kampanye yang serupa juga dilakukan ketika pemerintah Jepang hendak mengajukan gunung Fuji sebagai warisan budaya dunia. Selama bertahun-tahun, pengajuan tersebut selalu ditolak, karena di gunung Fuji banyak sampah berserakan. Pemerintah menghimbau kepada para pendaki agar membawa pulang sampah masing-masing, supaya gunung Fuji menjadi bersih. Himbauan tersebut berhasil, dan pada tahun 2013, gunung Fuji resmi diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO (lembaga yang bernaung di bawah PBB).

Kompetensi dan kemajuan ekonomi

Kemajuan Jepang pasca kekalahan dalam perang dunia kedua, tidak terlepas dari kemajuan industri, yang menghasilkan produk manufaktur dengan kualitas yang diakui oleh dunia internasional. Aktor utama dunia industri adalah perusahaan-perusahaan swasta. Pemerintah dengan akademisi juga ikut berperan, terutama melalui asosiasi Japan Productivity Center (JPC) dan Japan Management Association  (JMA). Kedua lembaga ini secara proaktif dan terus menerus melakukan penelitian mengenai peningkatan produktivitas dan efisiensi pengelolaan perusahaan, serta mensosialisasikan hasil penelitian kepada perusahaan.

Sebagai catatan, JPC sejak awal berdirinya telah mencanangkan 3 misi, yaitu:

  1. Memastikan tersedianya lapangan kerja, dan meningkatkan jumlah lapangan kerja
  2. Kerja sama yang baik antara buruh dengan pengusaha
  3. Pembagian hasil usaha dengan adil

Sedangkan tokoh utama di balik berdirinya JMA adalah Ueno Yoichi, yang memperkenalkan konsep ‘efisiensi’ ala Frederik Taylor dari Amerika ke Jepang.

Dengan pulihnya ekonomi dan industri Jepang, perusahaan-perusahaan Jepang melakukan ekspansi dan tentunya mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja. Sejak tahun 1960an, sebagaimana pula negara-negara maju lainnya, Jepang memasuki era masyarakat tanpa pengangguran. Dengan kata lain, bagi hampir semua rakyat Jepang usia produktif yang ingin bekerja, tersedia lowongan kerja, dengan upah yang layak sehingga menjamin kehidupan yang layak.

Pekerjaan dan penghidupan yang layak, ditambah dengan apresiasi dari bangsa-bangsa lain, menumbuhkan rasa percaya diri dan rasa bangga.

Di Jepang tidak adalah upacara peringatan kemenangan nasional; tidak ada simbol (bendera, umbul-umbul) di ruang publik. Upacara bendera hanya diselenggarakan pada saat upacara penerimaan siswa (April) dan upacara wisuda (Maret). Tidak ada upacara yang gegap gempita. Namun rakyat Jepang merasa bangga, bangga sebagai bangsa yang disiplin dan maju.

Kesimpulan: Revolusi mental melalui revolusi pola hidup

Pengalaman Jepang pasca kekalahan dalam perang dunia kedua menunjukkan, nasib suatu bangsa ditentukan oleh kualitas SDM dari rakyat. Oleh karena itu, jika suatu bangsa ingin maju, maka yang pertama-tama harus dibenahi adalah kualitas SDM rakyat bangsa tersebut. Dan hal-hal konkrit yang harus dilakukan adalah ‘memodernisir’ (mengubah secara drastis=revolusi) pola hidup setiap rakyat: sandang, pangan, papan, kehidupan sosial. Melalui kampanye (penyuluhan, himbauan, pemberian penghargaan kepada yang berprestasi) dalam jangka waktu tertentu, lambat laun pola hidup modern (disiplin, hemat, rajin, tepat waktu dan sebagainya) akan dianggap lumrah. Dengan demikian, dengan sendirinya akan terjadi perubahan drastis (=revolusi) pada mentalitas rakyat; dengan kata lain, revolusi mental akan tercapai.

Sumber: Ong, Susy. (2016) Revolusi Pola Hidup

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Website Built with WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: