Sejak pertengahan abad ke-20 sampai sekarang (awal abad ke-21), Jepang dikenal sebagai salah satu negara modern dan maju , disegani oleh negara-negara lain di dunia, dengan tingkat pendidikan (termasuk tingkat penguasaan teknologi) & tingkat kesejahteraan hidup rakyat serta pendapatan per kapita yang tinggi, dan tingkat kesenjangan sosial, tingkat pengangguran dan tingkat konflik sosial yang relatif rendah.
Keberhasilan Jepang tersebut menimbulkan kekaguman pada sejumlah bangsa-bangsa di dunia, termasuk di Indonesia. Dunia akademisi dan jurnalistik di Indonesia sering mengutip contoh keberhasilan Jepang dengan memberi opini ‘cultural determinism’, yaitu ‘budaya sebagai faktor penentu’. Bahwa Jepang berhasil dalam modernisasi adalah karena bangsa Jepang memiliki budaya yang unggul. Dari opini tersebut, lahirlah kesimpulan bahwa jika bangsa lain (termasuk Indonesia) ingin maju seperti Jepang, maka yang harus dipelajari adalah budaya Jepang.
Opini publik tersebut keliru, karena mengabaikan 2 fakta sejarah, yaitu fakta bahwa pada sekitar 150 tahun yang lalu (1860an), ketika Jepang memulai modernisasi dengan meniru bangsa-bangsa Barat, Jepang adalah negara terkebelakang dan miskin; dan bahwa sejak dimulainya proses modernisasi 150 tahun yang lalu hingga sekarang, para birokrat bekerja sama dengan kalangan akademisi Jepang telah banyak menyerap pengetahuan mengenai kebijakan sosial dan UU yang berlaku di negara-negara Barat dan menerapkannya di Jepang. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa proses yang dijalankan Jepang selama 150 tahun ini adalah westernisasi.
- Dorongan untuk transformasi: tekanan dari Barat
Pada tahun 1850an, utusan Presiden Amerika Serikat datang ke Jepang dan memaksa agar Jepang menjalin hubungan perdagangan dengan Amerika. Setelah itu, Inggris, Perancis, Rusia dan Belanda juga menyodorkan permintaan yang sama. Sejak itu, Jepang mulai berinteraksi dengan bangsa-bangsa Barat. Dari interaksi tersebut, terbukalah mata bangsa Jepang, bahwa Jepang jauh terkebelakang dibandingkan dengan negara2 Barat, baik dalam hal infrastruktur dan teknologi, maupun dalam hal kualitas SDM. Fakta keberbelakangan Jepang tersebut juga menyebabkan Jepang terpaksa menerima perlakuan yang tidak adil dari bangsa-bamgsa Barat, yaitu hak kekebalan politik bagi warga bangsa-bangsa Barat yang sedang berada di Jepang (jika mereka melakukan tindakan kriminal, penegak hukum di Jepang tidak berhak menangkap dan mengadili mereka, karena Jepang dianggap sebagai negara yang belum beradab sehingga hukum di Jepang juga tidak sempurna).
Menanggapi sikap bangsa-bangsa Barat tersebut, pemerintah Jepang waktu itu berusaha meniru sistem di negara-negara negara Barat dengan membentuk institusi pemerintahan modern, melaksanakan sistem wajib belajar, mengesahkan konstitusi dan sejumlah undang-undang (dengan mengadopsi UU di negara-negara Barat). Selain itu, pemerintah bersama tokoh swasta juga berupaya ‘memodernisir’ budaya tradisional Jepang agar terkesan sesuai dengan standar Barat, seperti: memodernisir kabuki (seni teater tradisional Jepang) dengan membangun gedung pertunjukan dengan arsitektur Barat dan memerintahkan untuk menulis skenario alur cerita kabuki yang ‘lebih sopan’ agar tidak lagi terkesan vulgar = kampungan, dan ‘memberi penyuluhan’ kepada masyarakat luas agar ‘berprilaku modern = beradab’.
- Penjabaran ide reformasi adat
Memasuki tahun 1880an, para tokoh masyarakat mulai sadar, bahwa untuk ‘memodernisir’ rakyat Jepang, menerapkan sistem Barat (undang-undang, sistem politik dan sistem pemerintah, industri modern, sistem ekonomi modern) saja tidak cukup. Yang lebih penting adalah ‘menanamkan adat Barat=modern’ kepada rakyat Jepang.
Pada tahun 1889, Sejumlah tokoh masyarakat mengambil inisiatif mendirikan Asosiasi Reformasi Pola Hidup Jepang. Para pendiri asosiasi tersebut adalah mereka yang terkagum-kagum membaca buku tentang sikap disiplin dan sopan santun pada masyarakat Barat. Mereka beranggapan bahwa upaya pemerintah dalam memperbaiki reputasi Jepang di dunia internasional terhambat dan Jepang masih diremehkan dan dicemoohkan oleh bangsa Barat (=bangsa-bangsa maju di dunia), karena sebagian besar rakyat Jepang ‘masih berpola hidup kampungan’[1].
Pada tahun 1891, ketua asosiasi tersebut, Dohi Masataka, menerbitkan buku yang diberi judul ‘Reformasi Adat di Jepang’. Melalui buku tersebut, ia memaparkan kondisi masyarakat Jepang waktu itu, mengapa perlu segera dilakukan reformasi adat, dan usul mengenai metode reformasi tersebut.
Melalui buku tersebut, kita bisa mengetahui kondisi masyarakat Jepang waktu itu, dan harapan para tokoh masyarakat melalui reformasi adat. Berikut ini rangkuman dari buku tersebut.
- Kelas sosial dihapuskan, masyarakat kehilangan panutan
Penulis buku ini pertama-tama memaparkan kondisi Jepang di tahun 1880an. Sejak pemerintahan yang baru dibentuk pada tahun 1868, strata sosial feodal dihapuskan, semua rakyat bebas memilih profesi, pola hidup dan tempat tinggal. Akibatnya, semua orang merasa bebas melakukan apa saja demi kesenangan dan kepentingan diri sendiri. Pejabat korup, moral dan tata susila masyarakat rusak. Masuknya ilmu pengetahuan modern menyebabkan ajaran agama Budha dan ajaran Konfusianisme tidak digubris lagi. Masyarakat terobsesi dengan ilmu pengetahuan dan pola hidup (terutama cara berpakaian) ala Barat. Karena tiadanya panutan, banyak orang bertindak dengan prinsip tujuan menghalalkan cara. Orang-orang yang sukses secara ekonomi, berlomba-lomba pamer kekayaaan.
Pemerintah telah mengesahkan sejumlah UU, namun tetap saja banyak terjadi pelanggaran sehingga penjara penuh; pencatatan transaksi telah dimulai, namun tetap saja banyak terjadi sengketa; ada puluhan sekte agama, namun masyarakat justru semakin egois; sudah dibentuk sejumlah partai politik, namun tetap saja banyak orang yang bertindak seenaknya saja; tempat hiburan selalu penuh tapi acara ceramah dan kotbah sepi pengunjung; majalah porno laris manis tapi majalah ilmiah minim pembeli; surat kabar diramaikan oleh berita2 pembunuhan, perampokan, penipuan, sengketa, pertengkaran, perselingkuhan, pelacuran dan berita2 mesum.
Ada pepatah Barat yang berbunyi: kebiasaan adalah karakter kedua. Artinya, dengan mengubah kebiasaan hidup (adat), maka karakter seseorang akan berubah. Oleh karena itu, jika ingin mengubah karakter orang Jepang yang bobrok, maka yang harus dilakukan adalah mengubah kebiasaan hidup (adat) mereka.
- Definisi adat
Penulis mendefinisikan adat sebagai perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Para pengrajin bekerja dengan tekun demi menghasilkan hasil karya yang bermutu baik. Perilaku mereka itu, yang dilakoni setiap hari, lama kelamaan menjadi karaker mereka (rajin dan teliti). Jika di suatu negara, rakyat terbiasa menghisap candu, maka menghisap candu menjadi karakter dari bangsa tersebut. Jika di suatu negara, pejabat selalu meremehkan rakyat, maka dapat dikatakan adat dari negara tersebut adalah rakyat diremehkan oleh pejabat.
- Kacaunya adat di Jepang
Penulis memaparkan permasalahan kacaunya adat di Jepang saat itu, sebagai berikut:
- Antar masyarakat dan antara rakyat dengan pemerintah tidak kompak. Pejabat menekan rakyat (represif), rakyat memusuhi pemerintah. Tanpa kerja sama rakyat dengan pemerintah, negara tidak akan bisa maju.
- Negara maju karena rakyat pandai; rakyat pandai karena pendidikan yang baik; pendidikan yang baik tergantung pada peran ibu. Napoleon, Washington dan Mencius (filsuf China) menjadi tokoh besar berkat jasa ibu mereka. Sedangkan di Jepang, status sosial perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Oleh karena itu, adat meremehkan perempuan harus dihilangkan.
- Dengki dan iri sesama anggota masyarakat, kecurangan merajalela; pejabat publik bertindak tidak adil; partai politik hanya mendukung calon dari partai sendiri, tanpa peduli kualitas calon tersebut, bahkan menyuap pemilih agar memilih calon dari parpol sendiri; peraturan pemerintah berubah dalam waktu singkat sehingga rakyat bingung.
- Penganut agama Budha, Kristen dan Shinto rajin ke rumah ibadah, waktu sedang ibadah sampai menangis meraung-meraung memanggil Tuhan; mereka antusias menyumbang untuk keperluan ibadah, namun seenaknya saja menunggak pajak dan uang sekolah anak-anak mereka; mereka antusias ikut kegiatan di tempat ibadah, tapi enggan menyumbang untuk fakir miskin; banyak orang rela meninggalkan pekerjaan dan orang tua mereka demi ziarah ke tempat jauh; ada orang yang rela memutus hubungan keluarga dengan orang tua dan sanak saudara demi masuk Kristen. Dengan tingkah laku seperti itu, apa yang mereka inginkan dari beribadah? Banyak orang berdoa minta kesembuhan, tapi tidak mau berobat ke dokter. Banyak orang berdoa supaya menang perkara, supaya orang lain celaka, supaya bisa bercerai dengan pasangannya. Apakah mungkin doa mereka dikabulkan? Bukankah sikap-sikap tersebut menunjukkan mereka tidak beragama, tetapi hanya percaya pada takhayul saja?
- Terobsesi dengan semua hal yang berbau Barat. Banyak orang sok meniru Barat dalam berpakaian maupun tata krama. Seharusnya selektif: budaya Barat yang bermanfaat boleh diterapkan, budaya Jepang yang sudah tidak bermanfaat harus dibuang.
- Belum ada penyeragaman bahasa. Orang Jepang dari masing-masing daerah berbicara dalam dialek daerah masing-masing, sehingga menimbulkan kekacauan.
- Mentalitas mau enak saja, bergantung pada pihak lain, tidak mau berusaha, kurang ulet. Misalnya, banyak orang tua menjual putri mereka untuk dijadikan pelacur atau istri muda, supaya orang tua bisa hidup tanpa bekerja; banyak anak mengharapkan warisan dari orang tua, supaya bisa hidup berfoya-foya dan tidak perlu bekerja; banyak orang hidup dengan menumpang di rumah sanak saudara; banyak pedagang menyuap pejabat agar mendapatkan proyek; banyak orang memilih berjudi daripada bekerja, karena ingin cepat kaya tanpa bekerja.
- Kurang ambisi, selalu mencari alasan supaya tidak perlu berusaha: saya kan sudah tua, saya kan masih terlalu muda, saya kan perempuan, saya kan orang kecil, saya kan orang bodoh, saya kan hanya seorang tukang becak, dsb; tidak mudah memperbaiki moral, mengubah adat, menghapus pelacuran, mengembangkan usaha, dan sebagainya; singkatnya, ini susah, itu tidak mungkin, pasrah tanpa berusaha.
- Tidak menghargai waktu, tidak menepati janji. Contoh: kerja seperti main-main, kerja tapi dibarengi dengan banyak basa basi, tidak menepati janji, tidak pernah tepat waktu ketika menghadiri rapat atau pesta; merasa terlambat itu biasa dan seenaknya menyuruh orang lain menunggu. Orang Jepang harus mencontoh orang Inggris dan Amerika, belajar disipin dan menghargai waktu[2].
- Boros, gaya hidup (sandang, pangan, papan, kehidupan sosial) tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi, sok kaya tapi malah menyengsarakan diri sendiri.
- Banyak gengsi dan basa basi. Upacara pernikahan, kematian, perayaan tahunan dan kelahiran bayi, dijadikan ajang pamer. Upacara pernikahan yang seharusnya berlangsung dengan khidmat, justru jadi ajang berpesta pora, dan seringkalinya kacau karena tamu mabuk-mabukan, bahkan bertengkar setelah mabuk[3]; pada upacara kematian, keluarga yang berduka mungkin sedang dalam kesulitan keuangan, tapi akan dikatai pelit jika tidak menjamu para pelayat. Tidak jarang ada keluarga yang bangkrut setelah menikahkan anak atau setelah ada anggota keluarga yang meninggal. Selain itu, ritual-ritual seperti merayakan kelahiran bayi (harus siapkan sekian jenis ikan), tahun baru (harus siapkan sekian jenis hidangan) dan sebagainya, adalah ritual-ritual yang konyol, yang ujung-ujungnya menyengsarakan.
- Pelacuran yang dilegalkan oleh pemerintah, merusak keharmonisan rumah tangga, menurunkan produktivitas dan menghambat kemajuan bangsa.
- Mengapa perlu reformasi adat
Penulis memberi contoh, sekarang (akhir abad ke-19), Turki dan India jatuh terpuruk, karena buruknya adat rakyat. Sedangkan Jerman dan Amerika justru berjaya, karena adat rakyatnya yang unggul. Oleh karena itu, selain reformasi di bidang politik, hukum, industri, dunia usaha dan sebagainya (sudah dilakukan oleh pemerintah Jepang sejak 1870an), reformasi adat rakyat juga tidak kalah pentingnya. Dan jika adat rakyat sudah diperbaiki, maka niscaya sistem politik, industri, perdagangan dan sebagainya akan berjalan dengan baik.
Tokoh masyarakat dan tokoh agama selama ini hanya mementingkan penampilan luar saja (sistem dan ritual), tanpa memperhatikan mentalitas rakyat. Akibatnya, rakyat Jepang memang sudah berpenampilan modern, tapi mentalitasnya tetap pada tahap tradisional, yaitu egois, tidak mau memikirkan kepentingan umum dan kepentingan negara, dan tidak punya rasa tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, perlu dilakukan reformasi adat, mendidik rakyat agar punya jiwa dan rasa tanggung jawab sosial
- Cara reformasi adat
Penulis memulai dengan slogan ‘heaven helps those who help themselves’ (Tuhan akan menolong orang-orang yang mau berusaha)[4]. Artinya, jika mau maju, kita harus berusaha; kalau kita tidak mau berusaha, Tuhan juga tidak ada menolong kita.
Selanjutnya, penulis mengajak pembaca untuk meliaht, apakah ajaran agama, ajaran moral dan sanksi hukum dapat dipakai untuk melakukan reformasi adat.
- Himbauan reformasi adat melalui pemuka agama seharusnya paling efektif, namun pada kenyataannya, biksu Budha di Jepang[5] hanya mengurusi ritual kematian saja; mereka juga sibuk minta sumbangan untuk renovasi / membangun kuil baru. Hampir-hampir tidak ada biksu yang peduli dengan umat yang berjiwa korup dan masyarakat yang semakin bobrok.
Masyarakat yang fanatik dalam beragama, sebagian besar berasal dari kelas bawah (miskin dan tidak berpendidikan). Mereka hanya percaya dan takut pada hantu, tidak paham esensi dari ajaran agama. Akibatnya, iman berubah menjadi takhayul. Umat menjalankan ritual agama karena takut tertimpa nasib sial, bukan karena ingin hidup sebagai manusia yang baik bagi masyarakat.
Mengingat besarnya pengaruh agama, seharusnya pemerintah berusaha merangkul para pemuka agama agar semua bekerja sama. Namun ini sulit, karena masing-masing sekte agama saling bertikai dan selalu menganggap diri paling benar.
- Himbauan melalui ajaran moral, contohnya adalah mensosialisasikan ajaran moral Konfusianisme dan ajaran filsafat. Ini juga kurang efektif. Ajaran Konfusianisme sarat dengan larangan, dan minim anjuran yang positif. Selain itu, dalam ajaran Konfusianisme tidak ada prinsip kesetaraan karena aturan hierarki sangat kuat. Pejabat diberi banyak hak namun tidak dibebani kewajiban, sedangkan rakyat jelata dibebani dengan sejumlah kewajiban namun tidak diberi hak. Kesetaraan gender juga tidak diakui.
Ajaran moral oleh para filosof, umumnya hanya teori saja, minim penerapan.
- Sanksi hukum memang membawa efek jera, membuat orang takut berbuat jahat; namun tidak secara proaktif mendorong orang untuk berbuat baik. Orang bisa saja berbuat baik di hadapan publik atau di depan penegak hukum, namun berani berbuat jahat jika Selain itu, hukum dibuat oleh penguasa (kelompok minoritas), sehingga belum tentu cocok diterapkan pada rakyat (mayoritas).
Setelah menyimpulkan bahwa ajaran agama, ajaran moral dan sanksi hukum kurang efektif dalam mendorong reformasi adat, penulis mengutip kata-kata Napoleon ‘jika kita mengikuti arah opini publik, maka tidak akan ada program kerja yang tidak bisa terlaksana. Di dunia ini tidak ada kekuatan yang dapat melawan opini publik,’ dan mengusulkan untuk membangun opini publik, menyadarkan publik akan penting dan perlunya reformasi adat. Langkah-langkah konkrit yang diusulkan adalah sebagai berikut:
- Mendirikan asosiasi nasional dengan cabang-cabang di seluruh Jepang, untuk membangun kesadaran akan pentingnya reformasi adat, dan mensosialisasikan metode reformasi adat
- DPP menerbitkan surat kabar dan majalah untuk membangun opini publik; para anggota berkeliling ke daerah memberikan ceramah mengenai pentingnya reformasi adat; dalam sosialisasi, dipaparkan contoh-contoh dan data statistik mengenai adat masyarakat di berbagai daerah dan di berbagai jaman, serta upaya dan keberhasilan dalam reformasi adat, untuk dijadikan bahan pembanding dengan kondisi di Jepang saat itu
- Masing-masing kantor DPC mengadakan rapat terbuka untuk minta masukan dari masyarakat, serta mendiskusikan metode reformasi adat yang sesuai dengan kondisi setempat
- DPP secara rutin menyelenggarakan rapat kerja nasional untuk membahas perkembangan opini publik, dan menetapkan kebijakan terkait reformasi adat, untuk kemudian disosialisasikan oleh anggota-anggota DPC
- Dana operasional DPC berasal dari iuran anggota dan dari donatur tokoh masyarakat; mengingat upaya mengumpulkan dana untuk pembangunan patung pahlawan sukses, maka seharusnya proyek reformasi adat yang merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan bangsa, juga akan berhasil.
- Kriteria reformasi adat
Kriteria dalam menilai berhasil tidaknya reformasi adat, tidak bisa diseragamkan, karena kondisi di setiap daerah berbeda-beda, latar belakang dan tingkat pendidikan masyarakat di tiap daerah pun berbeda-beda.
Keberhasilan di negara-negara Barat, belum tentu akan berhasil juga di Jepang. Demikian pula adat yang selama ini berlaku di Jepang, belum tentu sesuai lagi dengan perkembangan jaman modern. Oleh karena itu, adat di Barat juga harus dicontoh dengan cara yang selektif; demikian pula adat yang selama ini berlaku di Jepang, juga tidak boleh dipertahankan jika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman modern.
- Sedikit bicara, banyak kerja
Pada bagian kesimpulan, penulis mengakui bahwa reformasi adat tidak mungkin berhasil dalam waktu singkat, dan tidak mungkin semudah merevisi undang-undang; perlu kerja keras dalam jangka waktu lama. Perubahan adat akan terjadi tanpa disadari. Yang paling penting adalah kerja nyata, bukan berargumentasi. Seorang Patrick Henry[6] lebih mulia daripada Rousseau[7] atau Montesquieu[8]. (1736-1977, politisi Amerika dan orator yang berhasil membakar semangat rakyat Amerika dalam gerakan kemerdekaan Amerika)
- Arah reformasi adat
Dalam buku ini, tergambar dengan jelas pandangan penulis mengenai kondisi masyarakat Jepang pada era 1880an, dan pentingnya dilakukan reformasi adat. Kritik tajam terhadap perilaku rakyat Jepang waktu itu, menunjukkan bahwa penulis sama sekali tidak menghendaki rakyat mempertahankan status quo. Contoh keteladanan yang diambil, sebagaimana semangat jaman pada era itu, adalah konsep ‘self help’ yang lahir dari semangat protestanisme, yang telah terbukti mengantar negara2 protestan pada waktu itu menjadi negara-negara paling makmur dan kuat di dunia.
Tidak jelas berapa lama asosiasi ini bertahan, dan seberapa besar pengaruh terhadap masyarakat Jepang. Namun, sejumlah pejabat kementerian dalam negeri Jepang pada waktu itu juga mulai mengusung ide yang sama. Dan pada tahun 1909, kementerian dalam negeri Jepang secara resmi memulai kampanye nasional perbaikan adat. Istilah yang digunakan adalah Local Improvement Movement, agak berbeda dengan istilah yang digunakan oleh asosiasi ini, namun argumen dan metode sosialisasi serta target yang dicanangkan, bisa dikatakan persis sama dengan apa yang dicetuskan oleh asosiasi ini.
Kampanye nasional oleh kementerian dalam negeri tersebut lebih terorganisir dan merata ke seluruh pelosok negeri Jepang, dengan dokumentasi yang jauh lebih lengkap. Kampanye tersebut terus berlanjut (meskipun dengan nama yang berbeda, sesuai dengan kebutuhan jaman) hingga awal tahun 1970an. Melalui serangkaian kampanye oleh pemerintah inilah, terbentuk karakter bangsa Jepang yang kita kenal sekarang. Rajin, hemat, disiplin, sopan dan sebagainya.
[1] Misalnya, tokoh gerakan pro-demokrasi di jaman Meiji, Itakura Taisuke, menulis dalam surat kabar yang terbit di daerah asalnya, prefektur Kochi (di pulau Shikoku, Jepang selatan), bahwa di dalam kereta api di Jepang sering dijumpai penumpang yang telanjang dada dan mabuk-mabukan, sampai menjadi tontonan publik; ada bapak2 berpakaian rapi, tapi bercumbu dengan pelacur di depan umum; banyak penumpang yang bertengkar atau melontarkan kata-kata porno; ada perempuan berpenampilan rapi tapi buang air kecil sambil berdiri di toilet di depan stasiun; ada penumpang yang seakan-akan menganggap gerbong kereta itu seperti rumah sendiri, ganti pakaian seenaknya; tidak mau memberi tempat duduk kepada penumpang wanita dan anak2.(Itagaki Taisuke ‘Reformasi Pola Hidup’ harian Doyo, edisi 8 Maret 1906)
[2] ‘time is money’ pertama kali dilontarkan oleh Benjamin Franklin.
[3] Sejak awal abad ke-20, dengan mencontoh upacara pernikahan di gereja di negara-negara Barat, pemerintah Jepang (melalui kementerian dalam negeri) mulai menganjurkan pernikahan di rumah ibadah (kuil Shinto), dengan tujuan agar upacara dilaksanakan dengan khidmat dan hemat. Sebelum itu, di Jepang tidak ada tradisi menyelenggarakan upacara pernikahan di rumah ibadah atau melibatkan pemuka agama.
[4] Slogan ini dipopulerkan oleh Samuel Smiles dalam buku “Self Help”. Buku ini terbit tahun 1859, berisi riwayat hidup lebih dari 300 orang di Eropa dan Amerika, yang sukses di bidang industri dan perdagangan, berkat kerja keras dan hidup hemat. Buku ini mewakili semangat Inggris di era Victoria (abad ke-19). Pada tahun 1871, terjemahan bahasa Jepang dari buku ini terbit di Jepang, dan menjadi bestseller, terjual lebih dari 1 juta kopi. Pada jaman itu, populasi Jepang diperkirakan sekitar 30 juta jiwa, tingkat literasi (melek huruf) sekitar 20%, berarti ada 6 juta orang yang melek huruf, dengan tingkat kemampuan membaca yang berbeda-beda. Success stories dari para tokoh yang berpedoman rajin dan hemat, menjadi inspirasi bagi para pemuda kelas menengah ke atas (berpendidikan menengah) di Jepang pada jaman itu.
[5] Sejak tahun 1600an sampai dengan 1868, pemerintah mewajibkan semua rakyat berafiliasi pada salah satu kuil Budha; biksu Budha berperan sebagai aparat negara untuk mengontrol kehidupan rakyat. Selama periode tersebut, Shinto hampir tidak berperan dalam kehidupan rakyat. Agama Kristen dilarang dan larangan baru dicabut pada tahun 1873.
[6] Patrick Henry (1736-1977), politisi Amerika dan orator yang berhasil membakar semangat rakyat Amerika dalam gerakan kemerdekaan Amerika.
[7] Jean Jacques Rousseau (1712-1778), filsuf Perancis, terkenal dengan teori Kontrak Sosial antara pemerintah dengan rakyat.
[8] Montesquieu (1689-1755), filsuf dan ahli hukum Perancis, pencetus ide pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dengan yudikatif.
Leave a Reply