65 Tahun “Hubungan Indonesia dan Jepang” di tahun 2023?

Benarkah hubungan Indonesia-Jepang sudah berlangsung selama 65 tahun?

Kenapa hanya 65 tahun saja?

Bukankah pada tahun 1942-1945 Jepang pernah melakukan penjajahan di Hindia Belanda (Indonesia)?

Kalau kita hitung, di tahun 2023 sudah lebih dari 65 tahun, kan?

Apakah benar Hubungan Indonesia dan Jepang terjalin selama 65 Tahun di tahun 2023?

Menanggapi pertanyaan pembuka di atas, jawabannya ialah Tepat. Hubungan Indonesia dan Jepang sebagai bangsa yang berdaulat dimulai sejak 20 Januari 1958, dan apabila kita meghitungnya di tahun 2023, usia hubungan tersebut telah berlangsung selama 65 tahun.

Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Jepang ini diawali dengan persetujuan perjanjian perdamaian dan persetujuan pampasan antara kedua belah pihak yang ditanda-tangani oleh Subandrio sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia dan Aiichiro Fujiyama sebagai Menteri Luar Negeri Jepang pada tanggal 20 Januari 1958 di Jakarta. Perjanjian perdamaian ini didasari oleh pertemuan bilateral sebelumnya di Jakarta, oleh Perdana Menteri Republik Indonesia Djuanda Kartawidjaja dari pihak Indonesia dan Ataru Kobayashi dari pihak Jepang pada 8 Desember 1957.[1]

Namun, apakah benar Hubungan Indonesia dan Jepang, sesingkat itu?

Jawabannya tentu saja, Tidak. Mari kita mundur jauh ke belakang untuk melihat bagaimana hubungan Indonesia dan Jepang yang telah terkoneksi sejak 400-an tahun yang lalu, dan saat itu Indonesia kita kenal dengan nama Nusantara yang nantinya dikenal dengan sebutan Hindia Belanda hingga 1945. Hubungan Indonesia dan Jepang, telah terhubung dalam beberapa Periodisasi yang akan diuraikan secara singkat, mulai dari Pendudukan Jepang (1942-1945), Modernisasi Meiji dan Periode Toko Jepang di Hindia Belanda (1868-1912) hingga Periode politik isolasi Jepang di jaman Edo (1603-1868).

Pendudukan Jepang (1942-1945)

Penyerangan Jepang ke pangkalan militer Amerika di Pearl Harbour 8 Desember 1941 menyebabkan Jepang secara resmi terlibat langsung dalam perang dunia ke II. Setelah penyerangan tersebut Jepang mendapatkan kecaman dari blok sekutu yang menyatakan perang terbuka terhadap Jepang. Negara yang terlibat perang terbuka dengan Jepang seperti Amerika Serikat, China, Australia, Inggris, Australia, dan beberapa negara lainnya yang bergabung dalam blok Sekutu, sedangkan saat itu Jepang bergabung dalam blok poros bersama Jerman dan Italia.

Selain menyerang pearl harbour di Amerika, beberapa negara lainnya juga mendapatkan serangan dari Jepang seperti Filipina, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Thailand. Menurut sejarahwan Oktorino (2018, hal.52), Jepang menjadi mesin pembunuh di dunia pada tahun 1941 hingga awal 1942.[2]

Tidak berselang lama setelah melakukan serangan ke wilayah asia tenggara, 11 Januari 1942 Jepang telah menduduki Hindia Belanda melalui Tarakan-Kalimantan Timur. Pendudukan Jepang di Hindia Belanda ini tentunya membawa derita bagi Belanda yang lebih dulu mengkoloni saat itu. Namun disisi lain, masuknya Jepang ke Hindia Belanda tentunya membawa semangat baru bagi masyarakat Hindia Belanda, Pengibaran bendera merah putih yang sebelumnya dilarang oleh Belanda akhirnya bisa dikiibarkan di jaman Jepang, meskipun beberapa minggu setelahnya dilarang kembali oleh Jepang, Organisasi masyarakat (keagaman) dan tokoh-tokoh perjuangan Indonesia saat itu mendapatkan akses berinteraksi dengan tentara Jepang. Selanjutnya, Jepang dilihat sebagai penyelamat bagi kebanyakan masyarakat dan intelektual pribumi Hindia Belanda saat itu. Menyadari hal tersebut, Jepang semakin berupaya menguasai hati dan pikiran masyarakat Hindia Belanda dengan propagandanya yang sangat di kenal dengan sebutan “Gerakan 3A”. Gerakan 3A ini mulai digaungkan oleh Jepang sejak April 1942, dengan semboyan 1. Jepang Cahaya Asia 2. Jepang Pelindung Asia dan, 3. Jepang Pemimpin Asia.

Selain itu, menurut sejarahwan Jepang Kurasawa (1987, hal.60), untuk mendorong gerakan 3A, organisasi propaganda lainnya juga didirikan dengan tujuan mempercepat proses propaganda tersentuh dan mengambil hati masyarakat Hindia Belanda saat itu. Organisasi tersebut seperti Jawa Shinbunkai (Java Newspaper Coorporation) didirikan Desember 1942 (manajemennya dipercayakan ke Asahi Shimbun), Jawa Houshou Kanrikyoku (Jawa Broadcasting Superintendent Bureau) didirikan October 1942 (manajemennya dipercayakan ke NHK), Jawa Engeki Kyoukai (Java Theatrical Play Association), Nihon Eigasha or Nichi’ei (Japan Motion Picture Company) didirikan April 1943 dan Eiga Haikyuusha atau dikenal dengan Eihai (Motion Picture Distributing Company) didirikan april 1943.[3]

Propaganda Jepang di Hindia Belanda ini bisa di anggap berhasil, namun memberikan derita yang lain, yaitu, propaganda di manfaatkan untuk mengajak puluhan ribu penduduk Hindia Belanda untuk menjadi romusha (kerja paksa demi kepentingan militer dan pertahanan) yang nantinya berujung perbudakan dan kematian. Namun, dalam masa ini pula, sekian puluh ribu pemuda dilatih untuk menjadi tentara, baik sebagai pembantu militer Jepang ataupun sebagai tentara rakyat untuk membantu Jepang dalam mempertahankan Hindia Belanda yang dikenal dengan PETA (Pembela Tanah Air) atau Gyugun, yang menjadi cikal bakal TNI (Tentara Nasional Indonesia).

Modernisasi Meiji dan Periode Toko Jepang di Hindia Belanda (1868-1912)

Runtuhnya kekuasaan Tokugawa (Zaman Edo) membawa babak baru bagi perjalanan sejarah negeri para samurai. Jepang mendapatkan wajah baru dan era baru yang di kenal dengan Periode Meiji. Periode ini merupakan periode keemasan Jepang, berbeda dengan zaman sebelumnya, Tokugawa memberlakukan politik sakoku (isolasi) yang mana menutup segala akses masuk dan keluar Jepang bagi penduduknya, kecuali kepulauan Dejima di Nagasaki yang mendapatkan akses untuk berdagang bagi VOC. Pemerintahan di periode Meiji ini mengusung “Internasionalisasi” yang artinya Jepang untuk pertama kalinya setelah politik isolasi melakukan perjalanan keluar untuk mendapatkan pengetahuan dari negara barat dan eropa yang di kenal dengan misi Iwakura.[4]

Misi ini berhasil dan merubah Jepang menjadi bangsa yang modern hingga saat ini. Namun, modernisasi juga membawa dampak ketimpangan ekonomi dan menjadi salah satu penyebab masalah sosial di Jepang saat itu. Akibat dari ketimpangan ekonomi ini, mendorong beberapa penduduk Jepang untuk melakukan migrasi ke beberapa wilayah belahan dunia seperti Amerika Selatan dan juga ke wilayah selatan (Hindia Belanda) dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Khusus untuk migrasi ke arah selatan (Hindia Belanda) banyak dilakukan oleh para wanita yang menetap di daerah pertanian miskin Kyushu. Menariknya, migrasi orang Jepang ke Hindia Belanda ditahun tersebut, kebanyakan dilakukan oleh wanita Jepang yang mendapatkan pekerjaan melalui broker lokal untuk di pekerjakan sebagai wanita penghibur di Hindia Belanda dan dikenal dengan sebutan karayuki-san.[5] Hal ini diperkuat oleh tulisan salah satu sejarahwan Asia Tenggara, Shiraishi & Shiraishi (1993, Hal.7) yang mengatakan, 1880-an hingga akhir 1910-an merupakan fase pertama orang Jepang ke British Malaya[6] dan pulau Jawa untuk bekerja sebagai karayuki-san.[7] Oleh karena itu ketika kita membaca laporan pemerintah setempat ditahun-tahun tersebut, orang Jepang di Hindia belanda lebih banyak di dominasi oleh wanita asal Jepang.

Yamamoto (2004, Hal.116-117) mengungkapkan, Salah satu faktor penyebab peningkatan populasi orang Jepang di Hindia Belanda disebabkan oleh terbukanya kerjasama Jepang dan Hindia Belanda. Kerjsama tersebut berbuah hasil dengan di bukanya Konjen Jepang di Batavia pada februari 1909. Sebelum konjen Jepang di Batavia di buka populasi orang Jepang di Hindia Belanda di tahun 1897 sebanyak 125 orang (25 pria and 100 wanita) di pulau Jawa (bisa jadi pencatatan belum baik sebelum ada konjen). Setelah konjen Jepang di buka 1909 populasi orang Jepang bertambah, dengan jumlah orang Jepang mencapai 780 orang (344 laki-laki dan 436 perempuan), kemudian pada tahun 1913 terdapat 2.422 orang Jepang (1.146 laki-laki dan 1.274 perempuan), tahun 1930 jumlah orang Jepang sebanyak 6.325 orang dan tahun 1931 adalah 6.775 orang Jepang (4.419 laki-laki dan 2.356 perempuan), dan pada tahun 1933 jumlah penduduk 6.949 orang Jepang (4.686 laki-laki dan 2.261 perempuan).

Berdasarkan data yang disampaikan diatas, bisa dilihat bahwa, pada tahun 1913 merupakan ledakan pertama migrasi orang Jepang ke Hindia Belanda. Meskipun jumlah migran meningkat dua puluh kali lipat dan pola tempat tinggal yang lebih luas, mayoritas yang ke Hindia Belanda adalah karayuki-san dan pemilik toko kecil untuk menjual kebutuhan karayuki-san. Satu hal yang perlu dicatat pula, kemenangan Jepang dalam perang Tiongkok-Jepang (1894-1895) dan perang Rusia-Jepang (1904-1905) mengubah status sosial orang Jepang di Hindia Belanda, Kemenangan tersebut menempatkan status orang Jepang setara dengan bangsa Eropa di Hindia Belanda. Menigkatnya status sosial tersebut secara simbolik, pria Jepang yang dulunya bekerja sebagai pedangang keliling maupun pemilik toko kecil yang berdagang untuk memenuhi kebutuhan karayuki-san beralih profesi menjadi pemilik toko yang lebih besar. Pada periode ini lebih dikenal oleh sejarahwan dengan sebutan periode toko Jepang.

Gambar 1.Ilustrasi transformasi profesi orang Jepang di Hindia Belanda 1900-1937

Sumber: Gambar diatas disatukan sendiri oleh penulis berdasarkan sumber 1) Lim Kheng Chye collection, Courtesy National arcives, Singapore (2) Shigesaburō Takeda, “ジャガタラ閑話 : 蘭印時代邦人の足跡/Jagatara kanwa: Ran’in Jidai Hojin no Kiroku (Jagatara idle talks: a chronicle of japanese during the Netherland East Indies period, 1968, P.46. (3,4) Java Nippo, 1 January 1937 (Java Nippo is Japanese Newsletter published in Batavia, 1920)

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, kehadiran orang-orang Jepang di Hindia Belanda tentu saja bukan hanya di pulau Jawa, namun juga di luar pulau Jawa. Salah satu catatan awal yang menuliskan tentang keberadaan orang Jepang di luar pulau Jawa dilakukan oleh Sano Minoru (1913, hal.13-327), dalam catatannya Sano menulis tentang ceritaperjalanannya di bagian timur Hindia Belanda (di luar Pulau Jawa) meliputi wilayah Pulau Celebes (sekarang Sulawesi) Pulau Borneo (sekarang Kalimantan), Kepulauan Maluku, dan Papua. Perjalanan Sano dalam buku catatannya tercatatsebanyak dua kali, pada tahun 1906-1909 dan 1910-1913. Di tahun 1908, ia berangkat dari Surabaya ke Makassar. Perjalanan ke Makassar memakan waktu yang cukup lama saat itu, selain itu pelayaran ke Makassar hanya ada sebulan sekali dan sesampainya di Makassar, Ia bertemu 4 orang Jepang di pelabuhan Makassar. Selanjutnya dalam perjalanannya, Sano Minoru berangkat menuju kota-kota di Pulau Sulawesi seperti Donggala, Toli-Toli, Tomohon, Manado, Minahasa, Amurang dan Buton. Perjalanannya juga menuju kota-kota di Pulau Maluku seperti Ternate, Ambon, Pulau Seram, dan Maumere. Selain itupula, Sano Minoru juga mengunjungi Papua, menjelajahi kota Sorong, Manokwari, dan Jayapura, dalam catatan perjalanannya ke bagian timur Hindia Belanda hampir seluruh kota yang disinggahinya bertemu dengan orang Jepang yang bekerja, memiliki usaha sendiri maupun menikah dengan penduduk lokal setempat.[8] Selain cerita dari Sano Minoru, catatan tentang keberadaan orang Jepang di luar pulau Jawa, juga di wartakan oleh salah satu koran lokal Makassar tahun 1914 (Pemberita Makassar) yang berisikan sebuah iklan milik T. Kabashima, bekerja sebagai juru gambar dan mempromosikan usahanya kepada masyarakat setempat. Usahanya berlokasi di hotel Ang Kie, Chineeschestrat (China Town).[9]

Gambar 2. Toko Kaneko Shop dan Toko A. Doi di Makassar

Sumber: Kiyoyuki Wakita (1938-39年頃 セレベス島の日本人)

Informasi lain tentang orang Jepang di luar Jawa khususnya makassar juga di tuliskan oleh Kiyoyuki, seperti keberadaan toko Kaneko di Makassar (lokasi lain berada di Yogjakarta dan Surabaya) dan juga toko dan bengkel sepeda milik A.Doi  (Kiyoyuki, n.d.) [10]

Periode politik isolasi Jepang (Edo).VOC dan Nagasaki (Periode EDO)…. Bersambung….

[1] Pemerintah Indonesia. (1958). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1958 tentang Perjanjian Perdamaian dan Persetujuan Pampasan Antara Republik Indonesia dan Jepang.

[2] Oktorino, N. (2018). Operasi Militer Jepang Untuk Menguasai Indonesia. In T. Abdullah & T. Wulandari (Eds.), Hubungan Indonesia dan Jepang dalam Lintasan Sejarah (1st ed.). Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

[3] Kurasawa, A. (1987). Propaganda Media on Java under the Japanese 1942-1945 Author ( s ): Aiko Kurasawa Source : Indonesia, No. 44 ( Oct ., 1987 ), pp . 59-116 Published by : Southeast Asia Program Publications at Cornell University Stable URL : http://www.jstor.org/stable/3. Indonesia, 44(44), 59–116.

[4] Misi Iwakura merupakan sebuah misi perjalanan diplomatik Jepang ke Amerika Serikat dan Eropa ditahun 1871 dan 1873 dengan mengutus Iwakura Tomomi bersama para cendekiawan Jepang lainnya.

[5] Karayuki-san merupakan istilah yang diberikan kepada gadis atau wanita Jepang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang sebahagian besar berasal dari daerah miskin di kyushu dan bekerja sebagai sebagai wanita penghibur. Perlu dicatat bahwa, meskipun pekerjaan sebagai karayuki-san dianggap rendah, Namun sebelumya pekerjaan ini pernah dianggap mulia karena mereka menyisihkan penghasilannya untuk dikirimkan ke Jepang (baca: pahlawan devisa). Namun kemenangan Jepang terhadap China dan Rusia, menyebabkan pekerjaan tersebut menjadi “hina” karena dianggap mempermalukan negara. Hal tersebut dapat dipahami dikarenakan kelas sosial bangsa Jepang meningkat akibat dua kemenangan besar tersebut.

[6] Sekumpulan negara bagian di Semenanjung Malaya dan pulau Singapura yang berada di bawah hegemoni atau kendali Britania antara akhir abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20.

[7] Shiraishi, S., & Shiraishi, T. (1993). The Japanese in Colonial Southeast Asia: An Overview. In S. Shiraishi & T. Shiraishi (Eds.), The Japanese in Colonial Southeast Asia. Cornell University Press.

[8] Sano minoru, Nanyo shotou junkouki: Fu nan’you jijou, Nabeshima yoshihiro (trans) tokyo 1913 diakses padahttp://dl.ndl.go.jp/info:ndljp/pid/950708 (8 Desember 2018).

[9] Pemberita Makassar. 13 February 1914. “dengan hormat saja kasih tahoe sama sekalian Toean2 dan Njonja2 saja Toekang Gambar dengan tangan, sekarang datang bertinggal disini. Boleh bekin bermatjam matjam gambaran menoeroet orang poenja soeka. Gambar2 roepa2 besarnja seperti orang atau ketjil, terang dan bagoes serta boleh tahan ratoes2 tahoen lamanja, dan dengan harga jang pantas dan moerah. Menoenggoe dengan hormat ! T.Kabashima, Hotel Ang Kie Chineeschestratt-Makassar”.

[10] Kiyoyuki, W. (n.d.). 1938-39年頃 セレベス島の日本人 [Orang Jepang di Sulawesi pada tahun 1938-39]. Retrieved January 19, 2018, fromhttps://japan-sulawesi.net/mks/senzen.html

Leave a comment

Website Built with WordPress.com.

Up ↑