“Purikura” Budaya Popular masyarakat Jepang

Purikura adalah singkatan dari ‘Purinto Kurabu‘ atau dalam bahasa inggris ‘Print Club’. Mesin purikura ini di ciptakan oleh dua buah perusahaan video game ternama di Jepang Atlus dan Sega. Purikura dalam fungsinya ialah mesin dimana kita bisa berfoto ria, mengeditnya, dan langsung dicetak. Cetakannya ada yang dihasilkan dalam bentuk sticker dan ada juga yang dihasilkan dengan kertas photo. Di Jepang sendiri purikura ini sangat di minati oleh pemuda pemudi Jepang yang tengah terjebak dalam arus ideologi pasar atau yang bisa di dengar dengan sebutan kepentingan kapitalisme. Pertama kali di perkenalkan oleh Jepang di tahun 1995 hingga akhirnya menjalar ke Australia, Hongkong, Korea dan beberapa negara lainnya termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, purikura sempat menjadi populer kira-kira 5-8 tahun yang lalu tetapi tak lama bertahan.Sebagai salah satu Negara pencipta trensetter baik dalam aplikasi industri maupun fashion dengan adaptasi desain bercita rasa Jepang

Saat ini, Purikura masih bertahan dan di minati oleh pemuda-pemudi bahkan para pelancong, meskipun tidak sepopuler saat pertama kali di keluarkan.Kebudayaan popular atau kebudayaan pop (pop culture) bersifat massal (umum), komersial, terbuka, dan lahir dari rakyat, dan tentunya disukai rakyat. Sehingga kebudayaan pop dikategorikan sebagai kebudayaan rakyat (folk culture), atau kebudayaan rendah (low culture). Bentuknya berupa musik, tarian, teater, gaya, ritual sosial, dan bentuk lain yang bersifat tradisional. Tumbuh pada tingkatan bawah (grass-root) sebagai perwujudan eksistensi dengan akses yang terbatas dan dicirikan dengan kesederhanaan. Oleh karena itu, kebudayaan pop dapat disimpulkan sebagai produk kultural yang berasal dari rakyat bawah.Di sisi lain, pengertian popular culture ternyata tidak lah tunggal, disana ada banyak nuansa. Namun poin yang bisa tertangkap ditengah-tengah kompleksitas definisi popular culture adalah berikut ini :

“…This is seen as a commercial culture, mass produced for mass consumption. From a U.K. (and European) point of view, this may be equated to American culture. Alternatively, “pop culture” can be defined as an “authentic” culture of the people, but this can be problematic because there are many ways of defining the “people”.

Untuk itulah, ada keterkaitan erat antara popular culture dengan commercial culture (kebudayaan komersil). Sesuatu sengaja diproduksi untuk konsumsi yang sifatnya massal (common people). Bisa dikatakan bahwa sesuatu itu diproduksi hanya berlandaskan keinginan pasar saja. Dengan demikian, hipotesa saya bahwa kebudayaan pop hanya akan terjadi manakala keinginan pasar menjadi perhatian sentral. Singkatnya, ada selera mainstream di tengah-tengah masyarakat. Secara epistemelogi, seringkali dipertentangkan antara kebudayaan elite dengan kebudayaan populer. Pengertian kebudayaan elite menyangkut pengetahuan, model-model, skema-skema, pola pikir (kognisi), blueprint, dan nilai-nilai yang membentuk perilaku manusia dalam suatu masyarakat atau komunitas. Sedangkan kebudayaan populer lazim disebut sebagai kebudayaan massa, mengacu pada perkembangan intelektual, spritual, dan estetis yang melekat  pada diri individu, kelompok, dan masyarakat. Ada kebudayaan rendah, ada kebudayaan tinggi. Kebalikan dari kebudayaan rendah, yakni kebudayaan tinggi (high culture), yang bersifat khusus dan tertutup, lahir dari kalangan atas (kaum elite). Kebudayaan ini dianggap bernilai luhur dan adiluhung dan memiliki standarisasi yang tinggi (selera, kualitas, dan estetika). Awalnya, kebudayaan tinggi dan rendah terpisah satu sama lain dan berdiri sendiri. Masing-masing tersekat dinding yang tinggi. Namun, dinding tersebut diruntuhkan kebudayaan lain yang disebut kebudayaan massa. Akhirnya, tidak ada batas antara kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah. McDonald mengatakan, kebudayaan massa menyatukan massa ke dalam kebudayaan tinggi yang telah diturunkan statusnya, kemudian menjelma menjadi instrumen dominasi politik.Popular Culture atau sering disebut budaya pop mulai mendapat tempat dalam kehidupan manusia Jepang. Dominic Strinati  mendefinisikan budaya pop sebagai “lokasi pertarungan, di mana banyak dari makna ini (pertarungan kekuasaan atas makna yang terbentuk dan beredar di masyarakat) ditentukan dan diperdebatkan. Tidak cukup untuk mengecilkan budaya pop sebagai hanya melayani sistem pelengkap bagi kapitalisme dan patriarkhi, membiarkan kesadaran palsu membius masyarakat. (Budaya pop) juga bisa dilihat sebagai lokasi di mana makna-makna dipertandingkan dan ideologi yang dominan bisa saja diusik. Antara pasar dan berbagai ideologi, antara pemodal dan produser, antara sutradara dan aktor, antara penerbit dan penulis, antara kapitalis dan kaum pekerja, antara perempuan dan laki-laki, kelompok heteroseksual dan homoseksual, kelompok kulit hitam dan putih, tua dan muda, antara apa makna segala sesuatunya, dan bagaimana artinya, merupakan pertarungan atas kontrol (terhadap makna) yang berlangsung terus-menerus”. Budaya pop adalah budaya pertarungan makna dimana segala macam makna bertarung memperebutkan hati masyarakat. Dan sekarang ini, model praktis dan pemikiran pragmatis mulai berkembang dalam pertempuran makna itu. Budaya pop sering diistilahkan dengan budaya  McDonald atau budaya MTV.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Website Built with WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: